Kamis, 08 November 2012

Musik Pop Melayu Sebuah Siklus

Posted byMuksin

Bagaimana bisa band-band seperti Radja, ST12, Kangen Band, Wali, Mata, dan band sejenis lainnya mampu merajai industri musik Indonesia secara komersial? Padahal dari segi musikalitas, tentu saja mereka masih di bawah band-band yang ada sebelumnya seperti Gigi, Naif, Dewa 19, Slank hingga band nu-jazz Maliq and The Essentials yang mumpuni dari segi tatanan musik.

Boleh dikatakan badai musik melayu adalah fenomena musik yang sedang berkembang di masyarakat kita. Kuping kita sekarang ini terus-menerus dijejali oleh ‘rasa yang sama’ dari band yang mengusung musik melayu nan mendayu-dayu.
“Tak ada yang dapat disalahkan dalam hal ini baik masyarakat maupun pelaku industri. Karena sudah menjadi suatu hal yang alamiah jika masyarakat Indonesia lebih menyukai lagu yang bertendensi mellow,” ucap pengamat musik Denny Sakrie.
Menurut dia kalau dikaitkan dengan budaya, orang Indonesia adalah orang yang sangat mudah tersentuh dan sensitif. Tidak heran jika lagu-lagu yang di kalangan anak baru gede disebut menye-menye ini sangat laku di pasaran.
Tentu saja tidak bisa dibantah hal yang melatarbelakangi sehingga musik Melayu kembali marak di pasaran disebabkan oleh mental pengekor yang telah mendarah daging di masyarakat Indonesia. “Di mana ketika ada sesuatu yang sukses, tidak lama akan muncul pengekornya. Musik melayu tengah menjadi tren itu tidak bisa disalahkan, tetapi yang menjadi kontroversial mereka semua menjadi seragam,” ujarnya.
Hal serupa terjadi terhadap tema lagu. Maraknya tema perselingkuhan yang diangkat menurut Denny juga merupakan suatu bukti nyata masyarakat Indonesia memiliki kebiasaan mengekor. Ini yang disebut olehnya bentuk kreativitas yang terhambat.
Sejak 1950-an
Jika menelusuri sejarah, musik mellow bernuansa melayu telah menjadi tren di Tanah Air sejak 1950-an. Pada masa perjuangan dulu, lagu yang bernunsa romantika perjuangan pun sudah dipenuhi dengan lagu-lagu mendayu. Sebut saja lagu Sepasang Mata Bola dan Juwita Malam ciptaan Ismail Marzuki. Adapun, ide yang diangkat ke dalam lirik lagu disesuaikan dengan tema yang sedang menjadi tren pada zaman itu.
Pada era 1970-an musik bernuansa melayu bermetamorfosis dengan munculnya band-band seperti D’Lyod. Memasuki 1980-an invasi band Malaysia hadir lewat Search, menambah daftar panjang perkembangan musik melayu modern di Indonesia disusul dengan booming-nya band Iklim sesudahnya.
“Musik melayu itu bagaikan siklus, dan kebetulan selera musik masyarakat kita sedang dalam masa di mana musik melayu sangat diminati,” ujarnya.
Merebaknya tren melayu membuat banyak orang yang menggeneralisasi bahwa seperti itulah potret musik Indonesia. Padahal kalau mau membuka mata, masih banyak genre musik lainnya yang juga berkembang. Hanya saja genre musik melayu yang mendapat respons positif dari masyarakat sehingga mendorong industri dan media, baik televisi maupun radio untuk memenuhi tuntutan pasar.
“Banyak band-band yang nengusung genre lain dan memiliki kualitas musik yang sangat baik, tetapi tidak terekspos secara besar-besaran oleh media dan pelaku industri musik karena mereka cenderung mengikuti permintaan pasar. Padahal bila diperhatikan band-band tersebut sangat layak dijual,” katanya.
Fenomena band melayu rupanya dirasakan juga sebagai ‘ancaman’ bagi band-band yang mapan dari segi musik yang menimbulkan keresahan dengan dalih musik Indonesia menjadi mundur secara kualitas. “Tidak perlu resah, karena band-band seperti ini ada masanya,” ujar Denny.
Namun, hal ini tidak berarti musik Melayu pantas didiskreditkan dan dianggap sebagai musik yang tidak bermutu, karena semuanya kembali lagi ke masalah selera.
Sama halnya dengan Denny, Benny Pandjaitan, pentolan band Panbers yang melejit pada era 1970-an berpendapat musik melayu yang kemba melalui tren di telinga masyarakat lebih kepada selera. “Ya, memang sudah bagian dari budaya kita, yang masuk dalam rumpun melayu. Ngga usah resah dengan adanya tren musik sekarang, karena itu bagian dari budaya,” tegas Benny.
Justru, lanjut Benny, justru Melayu saat ini bisa digali lagi, bukan tidak mungkin menurutnya bisa jadi semacam identitas bangsa sehingga bisa dibandingkan dengan negara-negara lain, seperti Malaysia, Jepang, Cina dan lainnya.
Benny cukup menyayangkan tema selingkuh yang kesannya terlalu menjurus menjadi agak kasar sehingga tidak terlalu estetis jika didengarkan oleh semua kalangan.
Pada sisi lain, Benny justru bangga dengan Indonesia berwarna melayu “Melayu bukan kemunduran, saya anggap itu suatu bentuk pengapresiasian yang bagus, ” katanya. Jadi nikmati saja, badai Melayu itu hingga berlalu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar