Senin, 22 Oktober 2012


Sejarah dan Perjalanan Musik Campursari

Jenis musik campur sari sudah ada 40 tahun silam. Sempat menghilang, lalu menjamur awal 1990-an. Dari segi estetis tak punya kelebihan, tapi enak di telinga.

Datanglah ke Jawa Tengah, mampirlah ke Yogya, dan singgahlah di kota-kota di Jawa Timur. Tinggal pilih yang Anda gampang temui. Maka, Anda akan menjumpai musik campur sari akrab di mana-mana. Dari rumah makan, mobil angkutan kota, radio swasta, sampai ke rumah-rumah hajatan. Campur sari memang oye!


Tak berlebihan jika Mus Mulyadi bilang, "Tahun ini milik pop Jawa dan campur sari." Artis senior berusia 55 tahun yang akrab disapa Cak Mus ini membenarkan campur sari dilirik produser rekaman Ibu Kota. Ia sebut, misalnya, HP Records dan Musica Studio. Pasarnya cukup menjanjikan, baik domestik maupun luar negeri. "Ini tak bisa dimungkiri," ujar pemilik hit Rek Ayo Rek, lagu pop Jawa yang populer pada 1973 itu.

Biduan kelahiran Surabaya, 14 Agustus 1945, ini juga tergiur menekuni jalur campur sari. Dua bulan lalu, album campur sarinya hasil kerja bareng dengan Manthous -pemilik grup Campur Sari Gunung Kidul (CSGK)- sudah kelar. Klipnya pun telah finis, tinggal launching. Album itu diproduksi Musica. Pengerjaannya dilakukan di CSGK, di Yogyakarta. Judul album itu masih dirahasiakan. Alasannya, biar mengejutkan penggemarnya.

Bagi Cak Mus, menyanyikan campur sari tak berbeda dengan lagu lain. "Tergantung bagaimana mengolah vokal," ujarnya. Hanya saja, ia mengakui, harus menguasai cengkok dan pakem. "Ini yang agak susah," tuturnya. Soal honor juga tak jauh dengan yang biasa diterimanya. Ia menyebut sekali manggung sekitar Rp 7,5 juta. Sedangkan tarifnya di luar negeri, seperti show di Singapura, mencapai US$ 2.500-US$ 4.000.

Cak Mus, pemilik 120 album ini, tak sendirian memanfaatkan kesempatan. Sebelumnya, penyanyi Evie Tamala dan Nur Afni Oktavia juga nyebur ke campur sari. Memang, campur sari telah menaikkan nilai materi para pesinden. Banyak yang jadi jutawan. Itulah yang membuat para pesinden, yang selama ini cuma menjadi "pendamping" dalang di pentas wayang kulit, ramai-ramai banting setir: menjadi penembang campur sari.

Keakraban campur sari ini bukan sekadar di telinga pendengar. Di daerah itu juga bermunculan kelompok musik campur sari. Pengamen bus pun tak ketinggalan mengumpulkan cepekan dengan menyajikan campur sari-ria. Wabah ini dianggap mengkhawatirkan. Campur sari dituding bisa "merusak" jenis musik lain, terutama keroncong dan karawitan Jawa.

Lagu-lagu seperti Selamat Malam-nya Evie Tamala, Kemesraan-nya Iwan Fals, Don't Cry for Me Argentina-nya Madonna, atau Mama- nya Genesis jadi terdengar njawani. Ini Rindu-nya Farid Hardja yang riang, di tangan para "penggubah" campur sari, mendadak sontak menjadi lembut dan mendayu.

Sebaliknya, tembang-tembang Jawa klasik digarap secara ngepop, seperti Pangkur menjadi Pangkur Royal Minggah Palaran, Jenggleng Jos, Jenimen Uler Kambang Nyamat, dan Dandanggula Konco Tani. Lebih mengejutkan lagi, gending Kutut Manggung diiringi dengan entakan gitar listrik dan keyboard. Begitulah gambaran umum musik campur sari. "Diintervensi" secara serampangan -persis kondisi elite politik sekarang.

Sukses dari Gunung Kidul
NAMA aslinya Anto Soegiyono, 50 tahun. Ia beken dengan sebutan Manthous. Pria asli Desa Logandeng, Kecamatan Playen, Kabupaten Gunung Kidul, Yogyakarta, ini lahir pada 10 April 1950. Pendidikan formalnya sekolah menengah atas.

Di dalam percaturan jagat musik campur sari, Manthous tak boleh dilewatkan. Sebelumnya, ia dikenal sebagai pencipta lagu keroncong, dangdut, dan pop Jawa. Pada awal 1993, ia mengangkat kembali musik campur sari, yang pernah muncul 40 tahun silam. Hanya saja, waktu itu, campur sari ditenggelamkan oleh orkes keroncong.

Nah, di dalam campur sari model baru ini, kata Manthous, nada dan cara menabuh gamelan Jawa tidak diubah. Dua laras slendro dan pelog tinggal dipilih untuk dicocokkan dengan instrumen modern. Misalnya, untuk mengiringi gending karawitan, gitar bisa difungsikan sebagai kempul, atau slenthem.

Gendang digantikan drum atau ketipung. Ukulele berperan sebagai kethuk- kenong. Lalu, keyboard dan gitar melodi bisa bermultiperan: sebagai biola, rebab, atau siter. Malahan keyboard milik Manthous sudah diprogram begitu rupa sehingga bisa berbunyi seperti saron dan gambang.

Dari oplosan instrumen pentatonis dan diatonis itulah, Manthous sukses meluncurkan tembang Jawa, keroncong, pop, reggae, rap, sampai heavy metal. Buntutnya, enak di kuping. Tidak asal-asalan nyampur. "Perlu dilaraskan atau di-stem," ujarnya kepada Gatra.

Layak Didengar dan Berduit

BERMULA dari campur-mencampur itu, Manthous boleh disebut pionir album campur sari. Di bawah bendera CSGK, kelompok ini menjadi panutan lainnya. Jika manggung, pemusik CSGK dalam posisi duduk bersila, dengan kostum khas Jawa: kain, beskap, blangkon, lengkap terselip sebilah keris di punggungnya. Apik.

Manthous pun menggaet para sinden wayang kulit. Misalnya Sunyahni, "Ratu Kembang Kacang" Waljinah, Minul, dan Nurhana. Pelawak, pemain ketoprak, pun ikut ambil bagian. Misalnya Yati Pesek, Timbul, Nunung, dan Mamiek. Dalam perkembangan selanjutnya, artis penyanyi Ibu Kota juga ikut nimbrung: Mus Mulyadi, Evie Tamala, dan Nur Afni Oktavia.

Ujung-ujungnya, Manthous makin merajai jalur campur sari. Ia memiliki studio rekaman sendiri di Gunung Kidul, dan sudah memproduksi 20 album. Kasetnya dikopi lebih dari 300.000 keping per album. Belum lagi compact disc (CD) dan video compact disc (VCD)-nya, yang rata-rata tiap album diperbanyak 50.000 keping.

Semua album itu laris manis. Empat album terakhirnya, Nyidamsari, Mbah Dukun, Ini Rindu, dan CSGK 2000, sudah direkam dalam VCD. "Memang jadi lahan bajakan," ujarnya. Tapi, mau apa lagi. Manthous memakluminya. Pasalnya, lagu-lagunya memang akrab di telinga kelas bawah, yang berkantong cekak. Tak aneh jika VCD aslinya dijual Rp 40.000 per keping, bisa didapat hanya dengan Rp 5.000 sampai Rp 15.000 di jalanan.

Meski menyayangkan para pembajak, Manthous mengaku tak mau ambil peduli. Mungkin, sikap ini lahir lantaran Manthous sudah makmur. Mobil Isuzu Panther warna hijau muda, dengan plat nomor polisi C 56 K atau CSGK, selalu menemaninya. Belum lagi mobil lain. Ia juga ditemani dua telepon genggam, yang tak pernah lepas dari saku bajunya.

Selain sebuah rumah dan studio yang lumayan mewah di Gunung Kidul, Manthous juga punya rumah di kompleks perumahan Pamulang Indah, Ciputat, Tangerang. "Sekarang ini saya harus rela bolak-balik Jakarta-Gunung Kidul," ucapnya riang.

Tak Sampai Sejam

MEMANG tak semua lagu campur sari produksi Manthous ciptaan sendiri. Ia juga mendaur ulang langgam Jawa karya Andjar Any, 63 tahun, penyanyi dan pencipta lagu keroncong dari Solo. Misalnya, langgam Jawa Yen Ing Tawang Ana Lintang, Nyidamsari, Resepsi, Panjerino, dan Aja Digondheli. Termasuk tembang Jawa klasik seperti Kutut Manggung, Sinom, Kinanti, dan Ayun-ayun.

"Saya sudah lupa karena saking banyaknya," kata Andjar, pria kelahiran Ponorogo, Jawa Timur, yang kini menjadi Pemimpin Redaksi Harian Pos Kita, Solo.

Bagi Andjar, urusan bikin lagu, baik keroncong, langgam, maupun campur sari, adalah soal gampang. "Tak sampai sejam, jadi. Paling lama seminggu," ujarnya bangga. Misalnya, lagu Nonong, baik syair maupun liriknya, diselesaikan bareng ketika istrinya, Nikpiyatni, menyudahi makan paginya. Cuma, biasanya, katanya, ide dan inspirasinya diperoleh di tempat lain. Untuk itu, bapak lima anak ini selalu membawa notes untuk mencatat gagasannya yang tiba-tiba muncul.

Andjar sebenarnya tak rela lagu-lagu ciptaannya dibajak. Tapi, ia hanya bisa mengelus dada. Bahkan, ia punya prinsip, bagi dirinya, tidak dibayar pun tidak jadi soal. "Asalkan karya saya bisa dinikmati dan dihargai orang, saya sudah senang," ucapnya ketika ditemui Bagus Wahyono dari Gatra, di kediamannya, Kampung Mangkubumen, Solo.

Dalam urusan honor, Andjar mengaku pernah menerima Rp 5 juta untuk lagu campur sari Nonong dan Yen Ing Tawang Ana Lintang. Biasanya, kata pemusik yang mulai menggeluti keroncong awal 1950-an ini, jika lagunya direkam ia akan minta bayaran langsung. Jika dihitung-hitung, sistem pembayaran itu, "Sebenarnya enak royalti kalau sudah kenal baik dengan produsernya. Tapi, kalau belum, malahan ditipu," ujar Andjar yang kerap dibohongi produser.

Bermula dari Sinden

PELANTUN lagu-lagu campur sari yang berhasil itu kebanyakan berawal sebagai sinden. Ini diakui "Si Walang Kekek" Waljinah, 57 tahun. Menurut superstar keroncong asli Solo ini, untuk menyanyikan lagu campur sari yang didominasi instrumen gamelan, penyanyi harus punya suara tinggi. Sebab, katanya, gamelan adalah instrumen mati, tidak bisa di-stem. Sedangkan jenis instrumen musik Barat bisa menyesuaikan dengan suara penyanyi. "Sundari Sukoco pun saya yakin akan kesulitan," ucap Waljinah kepada Kristiyanto dari Gatra.

Meski Waljinah nimbrung di campur sari, penyanyi yang debutnya saat usia 12 tahun ini menolak anggapan bahwa ramai-ramainya sinden ke campur sari akan membuat pentas wayang kulit redup. Wayang kulit dan keroncong masih tetap digemari. Bahwa campur sari mewabah, menurut Waljinah, mungkin disebabkan biaya pementasan wayang kulit yang mahal ketimbang nanggap VCD campur sari.

Hanya saja, pelantun campur sari Resepsi dan Tukang Pijet Masa Kini yang laris itu menyayangkan banyaknya sinden yang malu disebut pesinden. Mereka lebih menyukai dipanggil sebagai penyanyi campur sari. Yati Pesek, 48 tahun, yang terkenal sebagai seniman lawak, sinden, dan pemain ketoprak, mengamini pendapat Waljinah. Ya, begitu saja, kok malu!

Bagi Suyati, nama asli Yati Pesek, yang penting adalah totalitasnya menggeluti kesenian. "Yang penting berkarya dulu. Dan tidak sombong kalau sudah terkenal," katanya kepada Sujoko dari Gatra. Keseriusan Yati Pesek ber-campur sari itu diwujudkan dengan mendirikan grup bernama Campur Sari Tombo Gelo.

Orkes Campur Sari Tombo Gelo itu baru berdiri Agustus 1999. Namun, soal produktivitasnya, Yati mengklaim, tak kalah dengan grup yang sudah lama. Ia sudah menciptakan lagu sendiri, seperti Tempe Koro Benguk, Petruk Dadi Ratu, Wuyung, dan Cidro. Tanggapan pun sebulan minimal 15 kali main. Dengan tarif Rp 600.000 sampai Rp 700.000 sekali manggung. Lumayan murah. "Asal diterima masyarakat saja," ujarnya.

Nartosabdo Sang Pelopor
CAMPUR sari sebenarnya bukan sesuatu yang baru. Jalur musik ini, menurut pengamat karawitan I Wayan Sadra asal Solo, sudah muncul 40 tahun silam. "Cikal bakal campur sari adalah dalang Ki Nartosabdo, dengan memasukkan keroncong di orkestra gamelannya," kata Sadra.

Selain itu, kata Sadra, Kelompok Musik Karno Kadean, Sragen, juga bisa disebut yang memopulerkan campur sari. Mereka, menurut Sadra, memakai instrumen gamelan tapi tidak untuk mengiringi gending-gending Jawa. Jadi, embrio campur sari itu sudah ada sebelum Manthous memopulerkannya. Hanya saja, Sadra menilai, dari sisi estetis campur sari tak punya kelebihan khusus. "Cuma variasi antara musik tradisional dan modern," jelasnya kepada Gatra.

Ini berbeda dengan yang dilakukan Guruh Soekarnoputra dengan kelompok Swara Mahardika, atau Orkes Sinten Remen milik Djaduk Ferianto. Keduanya, kata Sadra, memadukan musik yang diaransemen jauh lebih serius, maka tidak bisa populis.

Doktor Rahayu Supanggah, pakar karawitan dan musik, menyatakan bahwa pada awalnya campur sari merupakan campuran dua unsur musik: keroncong dan gamelan Jawa. Dalam perkembangannya, unsur dangdut, pop, rock, reggae, rap, dan jenis musik lain juga membaur memperkaya campur sari.

Rahayu Supanggah, yang juga Ketua Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Surakarta, menyebut campur sari pertama lahir di kalangan musisi Radio Republik Indonesia (RRI) dan Urusan Moril (Uril) atau Tjabang Adjudan Djendral (Tjabad) di lingkungan Tentara Nasional Indonesia (TNI). Dua lembaga ini, menurutnya, sangat kondusif sebagai tempat lahirnya campur sari. Selain memiliki grup karawitan, juga ada orkes keroncongnya. Saat keroncong menampilkan lagu langgam Jawa yang berlaras pelog, maka instrumen gamelan seperti kendang, gender, dan siter ikut dilibatkan. Keluarga Radio Orkes Semarang, pimpinan S. Darmamto, katanya, secara rutin mengumandangkan campur sari lewat RRI Semarang.

Semenjak 1965, menurut Panggah -begitu sapaan Rahayu Supanggah- campur sari seakan menghilang dari peredaran. Dan muncul kembali awal 1990-an. Berdasarkan kajiannya, sampai akhir 1970-an, campur sari tidak terdaftar dalam statistik jenis-jenis kesenian di setiap kecamatan di Daerah Istimewa Yogyakarta yang disusun Kantor Departemen Pendidikan Nasional Yogyakarta, 1980.

Saat ini, hampir di setiap desa di Yogya dan Solo terdapat sekurang- kurangnya satu kelompok orkes campur sari. Bahkan, di Kecamatan Kartasura, Sukoharjo, kini terdapat lebih dari 50 grup campur sari. Mengapa bisa mewabah? "Ini adalah salah satu bentuk kelompok musik hibrida," ujarnya kepada Gatra.

Obat Bingung
TERLEPAS dari setuju atau tidak, kata Panggah, campur sari mewakili masyarakat Jawa dengan citranya yang baru. Namun, Bakdi Sumanto, kritikus sastra dari Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, menyebutkan, secara sosiologis campur sari muncul karena banyaknya permasalahan yang tidak jelas di masyarakat.

Misalnya, menurut Bakdi, ketika masalah politik tidak dapat diselesaikan secara politis. Begitu juga ekonomi yang nihil tak dirampungkan secara ekonomis. Keadaan itu, kata Bakdi, membuat bingung orang. Sedangkan hiburan atau musik juga belum mampu mengobati kebingungan tersebut. Nah, "Campur sari bisa membuat orang senang, tertawa, terhibur, kadang juga menyindir," jelas Bakdi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar